Melihat Fenomena Ultraman Pada Generasi Muda

Siapa yang menyangka kalau serial kartun yang sering mengisi hari-hari anak generasi 90-an ini menjadi memori yang sangat melekat pada generasi saat itu hingga kini. Namun kita tidak akan membahas terlalu panjang lebar tentang dunia kartun, melainkan fokus kita adalah membahas tentang fenomena khusus yg disebut anak-anak muda sekarang dengan fenomena “Utraman”. Kalau kita gambarkan sedikit tentang sosok ini maka memori kita ingat betul dengan sosok yang tinggi besar, memiliki kekuatan super yang dapat diakses dari dalam dirinya, kemudian dengan dibantu sebuah alat kecil sebagai media penghubung kekuatan untuk bisa mengakses kekuatan dari manusia cahaya ini “Ultraman”. Itulah gambaran sederhana yang sangat melekat pada memori kita tentang sosok ini.

Bagaimana kalau gambaran dari sosok Ultraman ini menjadi sesuatu yang bukan lagi sekadar serial anak-anak namun menjadi sesuatu yang sangat filosofis? Seperti namanya “Ultra-Man” atau kalau kita terjemahkan dalam bahasa yang mudah dipahamai maka memiliki arti “ Manusia-Ultra” atau “manusia super”. Seorang manusia yang memiliki kekuatan super Ultra baik fisik maupun batin. Bayangkan saja jika arti ini menjadi sesuatu yang melekat pada pribadi seorang anak muda sekarang. Menarik bukan bila sosok Ultaman ini bukan lagi sekadar nama serial kartun melainkan telah menjadi sesuatu yang filosis bagi anak muda sekarang.

Fenomena Ultraman ini menjadi perbincangan yang begitu menarik dikalangan anak muda. Hal ini terjadi karena fenomena Ultraman ini menjadi trending di twitter dan media sosial lain seperti tiktok. Sosok Ultraman yang sering digambarkan sebagai sosok pahlawan bumi dan memiliki kekuatan super ternyata oleh masyarakat twitter dan tiktok malah digambarkan sebagai sosok yang ambyar yang membutuhkan semangat dan dorongan dari orang lain.

Bisa saja fenomena Ultraman ini berhubungan erat dengan kondisi anak muda sekarang yang kalau kata Alm. Didi Kempot sebagai sobat ambyar. Kondisi anak muda yang sering patah hati, kemudian anak muda yang menjalin kisah cinta namun tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, bahkan ada banyak kisah anak muda sekarang yang sudah lama menjalin kisah asmara pada seseorang perempuan di akhir kisahnya ternyata ditinggalkan karena tidak cocok dengan pilihan orang tua atau kisah dari seseorang yang bekerja keras untuk keberlangsungan hidupnya dan keluarganya. Dan saya kira masih banyak ke-ambyaran lain dari anak muda sekarang yang bisa terdeteksi fenomenanya disekitar kita. Karena peristiwa tersebut memang sangat melekat dikehidupan anak muda zaman sekarang.

Mungkin dari situlah sosok Ultraman ini menjadi fenomena yang kemudian viral bukan karena gambaran kartunya, melainkan telah menjadi sesuatu yang sangat filosofis pemaknaanya. Menghubungkan sosok Ultraman dan anak muda menjadi hal yang ternyata ini relevan sebagai pemaknaan yang lebih luas. Sobat ambyar yang memerlukan hati yang kuat, memiliki kaki dan tangan yang kokoh untuk menopang kehidupan selanjutnya yang lebih serius, dan memiliki batin dan akal yang kuat untuk menerima penghinaan dan cemooh dari orang sekitar.

Tentu hal ini bukan sesuatu yang final, penafsiranya bisa melebar kemana-mana tergantung siapa yang memaknainya. Kita mengharapkan mampu menjadi manusia ultra seperti sosok Ultraman ini. Manusia ultra yang bukan dari bentuk fisik yang tinggi besar kemudian memiliki kekuatan cahaya, melainkan sosok manusia ultra/super yang bermakna sebagai manusia yang kuat dikehidupan sehari-hari. Menjadi manusia yang super dalam mendayung prayu ditengah laut kehidupan, menjadi manusia super yang tahan banting terhadap kerasnya hidup, menjadi manusia super yang mampu menerima penolakan dan hinaan dari oang lain, dan menjadi manusia super yang mampu menguatkan hati dan pikiran dalam kehidupan asmara. Tidak mudah ambyar baik hubungan asmara maupun dalam bertaruh pada kehidupan ini adalah istilah yang menurut kita sangat pas dalam menggambarkan fenomena anak muda sekarang ini dan kita semua menginginkan hal itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Malas Itu Dosa?

Membentuk Pendidikan yang Mendidik